New Notification!
Mohon maaf, konten hanya dapat diakses menggunakan mode landscape atau melalui komputer. Silahkan mengubah screen rotation Anda dan memperbaharui laman ini.
Hingga April 2021, terhitung sudah satu tahun lebih pandemi COVID-19 merebak di Indonesia. Berbagai upaya pembatasan yang dilakukan guna mencegah penyebaran virus ini pun juga sudah dilangsungkan dalam jangka waktu yang lama. Salah satunya, aktivitas perkuliahan daring yang harus dijalankan oleh para mahasiswa. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai perubahan dan pengaruh yang cukup signifikan bagi kehidupan mahasiswa, khususnya dalam menjalani dunia perkuliahan.
Salah satu jenis dampak yang paling mempengaruhi kondisi mahasiswa adalah dampak secara psikis. Melansir tirto.id, hasil riset berjudul “Gambaran Psikologis Mahasiswa Dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19” dalam Jurnal Keperawatan Jiwa yang diterbitkan Universitas Muhammadiyah Semarang pada Agustus 2020 lalu menyimpulkan bahwa kecemasan menjadi masalah psikologis yang paling banyak dirasakan oleh mahasiswa selama mengikuti perkuliahan secara daring.
Selain itu, laporan bertajuk “Deteksi Dini Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19 pada Unnes Sex Care Community” dalam Jurnal Praxis yang diterbitkan Unika Soegijapranata pada September 2020 juga memperlihatkan dampak yang serupa. Hasil riset tersebut menunjukkan terdapat 63% responden yang terindikasi masalah kesehatan mental akibat pandemi. Berbagai masalah itu meliputi perasaan cemas dan khawatir (59%), sulit tidur (50%), sulit berpikir (50%), lelah sepanjang waktu (50%), dan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup (9%).
Dari hasil wawancara ULTIMAGZ, sejumlah mahasiswa
dari beberapa kampus yang berbeda juga mengakui bahwa
proses perkuliahan daring yang sudah cukup lama dijalani
membawa pengaruh yang cukup besar terhadap kondisi psikis
mereka.
“Aku jadi lebih sering merasa unmotivated, cepat bosan,
sering susah produktif dan susah fokus. Mungkin karena kalau
di rumah, tuh, batasnya jadi blurry ya. Kalau kita kuliah dan
beraktivitas offline kan jelas tuh; fisik kita ada di kampus
artinya ini saatnya belajar, fisik kita ada di studio band
misalnya, artinya sekarang saatnya latihan.
Kalau di rumah kan istirahat, kerja, dan kuliah semua
tempatnya sama, jadi ada faktor bosan juga.”
- Rosa Arzita Yoelma, mahasiswi Public Relation London School of Public Relations angkatan 2017
“Membuat lebih malas dalam hal apa pun, termasuk
belajar, karena semua via internet. Semua jawaban kebanyakan
ada di internet dan hal itu juga sebagai mahasiswa membuat
pembelajaran kurang menarik dan malas. Kurangnya interaksi
secara langsung juga sangat berpengaruh dalam kegiatan
belajar mengajar,”
- Kenny Niharja, mahasiswa Ilmu Komunikasi Kwik Kian Gie
School of Business angkatan 2016
“Jadi enggak sabaran, pengin semua serba instan karena pesan Grab mulu. Social skills menurun karena intensitas interaksi secara langsung sama orang juga berkurang.”
- Ando, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta angkatan 2016.
“Sebagai mahasiswa baru di masa pandemi, mungkin mayoritas yang saya rasakan adalah kesulitannya. Kuliah online ini lebih menjadikan kita individualis dan sepi karena kita harus berjuang sendiri tanpa teman kuliah karena belum pernah bertemu.”
- Lastrinita Paschedonna, mahasiswi Agribisnis Universitas Negeri Sebelas Maret angkatan 2020.
Back to MainTak hanya secara psikis, dampak secara fisik akibat perkuliahan daring pun turut dirasakan oleh mahasiswa. Salah satu hal yang memiliki pengaruh cukup signifikan adalah menurunnya tingkat mobilitas secara drastis. Minimnya pergerakan tubuh ternyata membuat mahasiswa merasakan dampak yang kurang baik bagi tubuh mereka, seperti merasa kurang sehat atau tidak bisa mengontrol berat badan.
“Aku jadi harus aware dan jaga makan sedikit karena sadar jumlah kalori yang terbakar setiap hari gak sebanyak biasanya, atau harus paksa diri buat olahraga di rumah. Selain itu, semenjak jarang bergerak aku jadi lebih cepat ngerasa capek. Padahal dulu dalam sehari bisa ngelakuin tiga kegiatan dan fine-fine aja,” jelas Yoelma.
Dampak fisik lainnya pun diungkapkan oleh Kenny. Ia
mengaku telah mengalami perubahan pada penampilan
rambutnya lantaran minimnya interaksi secara langsung
dengan orang lain.
“Dampak fisiknya karena jarang bertemu dengan teman kelas
maupun pengajar, rambut menjadi panjang karena kurangnya
interaksi secara langsung ke orang-orang,” ungkap Kenny.
Menurut mereka yang kami wawancarai, segala hal terkait kepentingan kelulusan dianggap jadi lebih sulit ketimbang saat bertatap muka, terutama ketika melakukan bimbingan. Komunikasi dengan dosen pembimbing dirasa menjadi kurang efektif apalagi mereka yang sulit dihubungi secara panggilan suara. Berbincang melalui pesan singkat dianggap kurang memuaskan sehingga permasalahan yang ada kerap sulit untuk dipecahkan. Hal ini tentu membuat tentu membuat mahasiswa menjadi frustasi.
Selain itu, magang secara daring juga menambah problematika tersendiri bagi mereka. Mahasiswa jadi tidak begitu merasakan suasana bekerja layaknya di kantor. Komunikasi antar sesama rekan kerja pun terbatas yang berakibat
pada kesalahpahaman sehingga pekerjaan menjadi terhambat. Ramainya notifikasi yang masuk ke ponsel juga membuat pekerjaan menjadi terdistraksi sehingga sulit untuk fokus selama bekerja.
Para mahasiswa semester akhir yang akan lulus dengan label “angkatan korona” ini akhirnya curhat terkait perasaannya bakal wisuda secara daring.
“Gua belum lulus, sih. Tahun ini kalau Tuhan berkenan. Tapi kalau dari temen-temen gua, sih, katanya ‘kentang’. Emosinya enggak nyampe dan enggak bisa ngerasain euforia dari wisuda bareng temen-temen. Jadi berasa sekadar formalitas aja karena mungkin momennya gak dapet,” ungkap Ando
“Kalau ditanya senang atau sedih, pasti sedih banget! Tahun terakhir kan waktu-waktu terakhir kita bisa duduk di kelas ngerumpi sama teman-teman, main, jadi anak kuliahan aja gitu pada umumnya, sebelum akhirnya masuk dunia kerja dan pisah-pisah. Gara-gara pandemi, jadi harus kehilangan masa-masa itu,” tulis Elma
Back to MainMeskipun harus melewati banyak situasi yang tidak menyenangkan, para mahasiswa tersebut mengaku bahwa masih ada hal positif yang didapat dari pembelajaran daring. Mereka menyatakan waktu yang mereka miliki jadi lebih fleksibel dari biasanya. Selain itu, mereka jadi dapat menghadiri perkuliahan dengan lebih santai. Mereka merasa jadi memiliki lebih banyak waktu untuk berkreasi. Artinya, dengan waktu kosong yang ada memungkinan mereka untuk eksplorasi hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah mereka ketahui ataupun lakukan.
“Hal itu juga sekaligus menghemat biaya transportasi dan tempat tinggal khususnya bagi saya yang akan tinggal di rumah kos.”
-Alysa, mahasiswi Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember angkatan 2020.
Back to MainNew Notification!