Mohon maaf, konten hanya dapat diakses menggunakan mode landscape atau melalui komputer. Silahkan mengubah screen rotation Anda dan memperbaharui laman ini.
Illustrasi mahasiswa yang mengikuti kelas daring
COVID-19 telah memasuki usia satu tahun lamanya. Seluruh aspek kehidupan harus mengalami perubahan, salah satunya adalah pendidikan.
Kondisi pandemi memaksa pendidikan yang semula berjalan dengan tatap muka di kampus, berubah menjadi pertemuan melalui aplikasi dalam jaringan (daring). Lantas, apakah benar apabila pendidikan daring merupakan suatu bagian dari masa depan?
Kali ini, ULTIMAGZ mewawancarai pengamat pendidikan Darmaningtyas, untuk menanyakan pendapatnya terkait masa depan dari pendidikan online. Pria kelahiran 1962 tersebut menganggap dengan tegas bahwa pendidikan secara tatap muka tidak dapat digantikan dengan pertemuan virtual.
Tidak semua mahasiswa nyaman dengan kondisi perkuliahan melalui daring
SOME TEXT
SOME TEXT
Pada masa pandemi ini, banyak yang bilang bahwa pembelajaran daring akan menjadi norma di masa depan. Apakah pernyataan tersebut benar?
Saya kira kalau kita belajar dari pengalaman kita, itu dia hanya bagian dari sistem pendidikan, tapi dia tidak akan bisa menggantikan yang namanya pembelajaran tatap muka.
Kenapa? Karena kalau pendidikan itu sebetulnya, kan, yang paling penting adalah interaksi antarmanusianya. Kalau ilmu pengetahuan, itu sekarang bisa diperoleh dari mana saja. Namun, interaksi antarmanusia, membangun solidaritas, perkawanan, toleransi, itu tidak akan bisa digantikan oleh teknologi, terlebih untuk tingkat pendidikan SD dan SMP yang masih dalam fase pembentukan karakter.
Saat pembelajaran daring, kita mungkin saja melakukan kegiatan belajar-mengajar (KBM) sambil melakukan hal lain. Perhatiannya tidak sepenuhnya pada materi. Kelihatannya hal yang sepele, tapi itu berdampak pada pembentukan karakter, memberi pesan bahwa menghargai orang lain itu tidak terlalu penting. Nah, kalau tatap muka, kita tahu apakah murid itu atau mahasiswa itu memperhatikan guru atau dosennya atau tidak. Sebaliknya, apakah dosen atau guru itu mengajar dengan penuh perhatian, penuh empati kepada murid-muridnya atau tidak.
Saya kira, kalau blended learning bisa (menjadi norma), tetapi itu hanya untuk bidang-bidang hafalan.
Seberapa efektif metode pembelajaran daring di Indonesia selama pandemi ini?
Ya, kalau kita bicara Indonesia, kan, Indonesia itu luas. Indonesia itu tidak hanya Jakarta, tidak hanya Jawa, tapi juga kepulauan-kepulauan di luar Jawa yang tidak punya dukungan infrastruktur internet yang cukup bagus. Nah, kalau pada wilayah-wilayah yang semacam itu, jelas, tidak usah ditanyakan, pasti tidak efektif.
Nah, di perkotaan sendiri, misalnya Jakarta, meski sudah lengkap infrastrukturnya, kan, tidak semua orang punya laptop dan komputer. Jika pembelajarannya hanya lewat ponsel, saya kira itu banyak sekali keterbatasannya. Pasti tidak efektif. Apalagi, tingkat kepemilikan komputer kita, berdasarkan data 2018, masih di bawah 40%.
Dugaan saya, dengan (adanya) pandemi, tidak banyak masyarakat yang mampu beli komputer. Jadi, misalnya ada penambahan juga tidak terlalu signifikan, sehingga mungkin sampai hari ini, tingkat kepemilikan komputer oleh rumah tangga itu mungkin maksimalnya 50%. Relatif lebih baik. Namun, di antara yang 50% itu, kan, belum tentu jaringan listriknya bagus, belum tentu jaringan internetnya juga bagus. Jadi, mereka yang sudah memiliki laptop pun juga atau komputer pun juga belum tentu dapat mengikuti pembelajaran online secara baik.
Kalau dari segi mental mahasiswa, dari pengajarannya sendiri, seefektif apa, sih?
Apalagi itu. Contoh yang agak mudah, ya, kalau pendidikan itu, kan, kaitannya dengan buku. Mahasiswa, kan, harusnya baca buku. Namun, kalau kita lihat tren penerbitan buku justru semakin menurun. Penjualan buku turun, lalu orang beralibi “Oh, sekarang baca buku, kan, tidak harus cetak, gitu. Bisa online, gitu, tetapi saya cek kepada teman-teman yang menjual online, betulkah penjualan buku online meningkat? Tidak juga.
Kalau buku-buku yang seharusnya menjadi teman mahasiswa itu tidak banyak dibaca, nah, kita bertanya, sebetulnya mahasiswa itu, ya, kalau pegang ponsel itu apa, sih, yang paling banyak? Baca buku, chatting dengan teman-teman, TikTok, atau apa? Kalau misalnya, ternyata mahasiswa ini ketika pegang ponsel itu lebih banyak TikTok, lebih banyak berita-berita online, lebih banyak infotainment, dan sebagainya, kita, kan, sudah bisa berkesimpulan bahwa secara mental pun kita tidak siap.
Saya malah khawatir ketika online learning menjadi norma kita akan mengalami kemerosotan kualitas pendidikan, karena informasi-informasi yang kita telan lewat medsos itu, kan, bukan otomatis ilmu pengetahuan. Sebagian ada yang berupa ilmu pengetahuan, tapi tidak semuanya. Nah, jika mungkin yang lebih banyak (dikonsumsi) adalah informasi sampah, ya, tentu tidak mungkin membangun mindset digital learning. Digital learning itu, ya, mestinya harus dibangun berdasarkan kerangka ilmu pengetahuan yang kuat, sehingga digital-nya itu hanya sebagai alat, gitu, tapi yang menjadi core-nya itu adalah pengembangan ilmu pengetahuannya itu sendiri.
Kalau di Indonesia sendiri, mungkin enggak, sih, itu pembelajaran daring tetap dilanjutkan?
Kalau blended learning, sih, saya kira bisa, tetapi sekali lagi, itu, kan, hanya bagian dari sistem pembelajaran. Kalau menjadi norma yang baku, saya kira enggak. Utamanya masih perlu pembelajaran tatap muka. Jika pembelajaran daring secara penuh, orang-orang mungkin berpikir, “Untuk apa saya sekolah?” karena sama saja, kan, jadinya. Sekolah hanya menyediakan ijazah.
Mungkin, orang mengatakan saya agak berpikiran kolot, tetapi menurut saya realistis, karena yang paling penting dalam pendidikan, ya, interaksi antarmanusianya itu. Bisa dibayangkan, kalau misalkan pembelajarannya itu nanti semua online, siswa dan mahasiswa di rumah jadi terpaku dengan internet. Sudah enggak ada interaksi dengan tetangga, dengan teman-teman sebaya.
Kalau sebelumnya sekolah bisa menjadi ruang untuk Anda pakai membangun interaksi sebaya, tiba-tiba enggak ada, apa yang akan terjadi? Anda pasti stres. Suatu ketika, Anda akan mengalami keterasingan.
Ya, kita bisa mengakses ilmu pengetahuan yang begitu banyak, tetapi kita enggak punya kawan, kita enggak punya sahabat. Ketika kita ada masalah, dengan siapa lagi kita akan curhat? Lembaga pendidikan itu tempat koneksi tumbuh. Kalau sekolahnya enggak ada, yang mempertemukan murid dengan teman-teman sebaya, apa, dong?
Sekolah itu bukan sekadar transfer of knowledge saja, tetapi yang paling penting itu adalah bagaimana kita membangun perkawanan, persahabatan, kolaborasi itu di dalam kehidupan ini, sehingga setelah lulus, kita ini bisa berkembang secara bersama-sama, gitu. Kalau hanya transfer pengetahuan saja, ya, Anda sekarang buka Google, mau tanya apa saja bisa, toh?
Pembelajaran daring yang ideal itu, seharusnya yang seperti apa?
Yang menjadi masalah kita sekarang itu, kan, materi-materi yang ada sebagai bahan pembelajaran itu adalah materi-materi yang disiapkan untuk pembelajaran tatap muka, sehingga yang daring itu hanya alatnya. Sebetulnya, idealnya model pembelajaran daring itu materinya harus disusun secara khusus. Tidak seperti saat ini, materi yang ada, yang dirancang untuk tatap muka, diberikan secara online. Perlu ada modul khusus untuk pembelajaran daring setiap subyek pelajaran.
Apa, sih, yang masih kurang diimplementasikan dalam pembelajaran daring Indonesia? Bagaimana caranya agar pembelajaran daring kita efektif dan nyaman?
Kalau Anda memperhatikan orangtua-orangtua dengan anak tingkat TK atau SD, saat mendampingi mereka belajar daring, itu lucu. Misalnya, saat pelajaran olahraga, anak diminta memakai baju seragam, kemudian diminta senam, mungkin tiga menit, lima menit, sudah. Kemudian direkam, dikirim, sudah. Setelah itu apa? Ganti pelajaran yang lain.
Itu, kan, proses pembelajaran yang manipulatif karena, ya, tidak mungkin bisa terlihat progres anaknya hanya lewat video tiga sampai lima menit. Nah, kalau begitu, pembelajaran manipulatif ini, apa yang bisa diperoleh dari seorang murid? Kan, tidak ada selain sekadar memenuhi tugas guru.
Sebetulnya, guru juga manipulatif, karena guru juga memberikan apresiasi hanya berdasarkan apa yang ia lihat dalam waktu tiga atau lima menit. Misalnya saja muridnya 30, kemudian mengirim video tiga menit. Apa betul itu videonya ditonton semua? Kalau digabung, kan, 90 menit. Anda percaya itu dilihat semua? Enggak. Artinya apa? Muridnya belajar manipulatif, gurunya juga manipulatif.
Bagaimana supaya baik? Untuk tingkat TK, SD, SMP, saya kira selama gurunya kemampuan mengajarnya masih seperti sekarang, susah. Kalau SMA relatif sudah bisa diberi tugas-tugas, demikian juga mahasiswa. Paling, ya, pembenahan infrastruktur itu tadi. Namun, menyiapkan guru-guru untuk mampu mengajar secara online, kan, juga tidak mungkin di dalam masa pandemi ini, sehingga ya, sudahlah, kita jalani saja dulu apa adanya saat ini.
Melihat banyaknya tantangan dari setiap aktivitas pembelajaran online, disertai dengan kultur budaya di Indonesia, rasanya kita dapat sepakat bahwa pendidikan di masa depan tidak dapat berjalan secara daring dengan seutuhnya. Pendidikan online dapat berjalan sebagai pelengkap, bukan pengganti.